Senin, 29 Juni 2015

CERITA TENTANG PRISAI


Perisai penuh dengan ketebalan demi menahan sebuah serangan pedang. Perisai dirancang khusus untuk menahan sebuah serangan sekeras apapun. Bentuknya pun beragam, mulai yang panjang, pendek, hingga yang berduri untuk menciptakan sebuah counter dari sang pemegangnya. Sebagaimana halnya yang sering terjadi di dalam kehidupan yang begitu kejam seperti pedang.
Sepenggal cerita ini mengungkapkan bagaimana kehidupan anak muda yang berjalan dengan berbagai rintangan. Kekejaman di jalanan merupakan tindakan kriminal yang sering terjadi. Seperti halnya di negeri kita, preman-preman itu tak henti-hentinya meminta upeti yang seolah sudah menjadi haknya. Menurutnya tempat ini sudah menjadi wilayah mereka bertahun-tahun.
Demikianlah kisah seorang anak muda berusia 21 tahun bernama Juni Priatmadja, namun ia biasa dipanggil Kucel. Ia biasa berdagang mengasong di jalanan, di mobil, bahkan di pasar-pasar. Meski ia telah yatim piatu dan menjalani hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain, tetapi ia tak pernah gentar akan kenyataan kejamnya kehidupan. Barangkali yang membuatnya tetap bertahan adalah cita-cita yang tidak pernah luntur dari hati kecilnya.
Ia biasa makan hanya berlauk tempe atau tahu. Malam hari yang hanya beralas kardus, ia tidur dengan nyenyaknya, jika tak ada petugas, ia pun sungguh sangat menikmati malam yang penuh bertabur mimpi, tapi di kehidupan jalanan ini sangatlah berbeda dengan kehidupan sang pangeran kerajaan yang selalu menikmati kenyamanan di setiap detiknya. Setiap malam ia pun setidaknya harus mencari tempat sepi hanya untuk melelapkan mata merahnya, kadang hampir satu hari pun ia tak pernah menikmati indahnya mimpi, keringat serta udara kotor selalu menemani kesehariannya.
Terkadang ia mencurahkan kepahitan hidupnya dengan selembar kertas dan sebatang pinsil yang ia pungut dari tong sampah. Atau kadang dalam bait-bait puisi keperihan hatinya ia torehkan. Biarlah meski orang-orang yang berada di sekelilingnya kerap mencibir kalau ia hanya bisa bermimpi menjadi orang besar.
Suatu pagi, seorang preman yang biasa dijuluki Picek, datang menghampiri Kucel. Preman yang berwajah garang itu memang biasa meminta uang hasil kerja keras Kucel dan teman-teman senasibnya. Ia menendang dengan kerasnya perut Kucel yang masih tertidur pulas. Tak ayal, Kucel pun terlempar hingga terjatuh dari tempat tidurnya yang beralas kardus itu.
Segenggam uang receh yang Kucel kumpulkan dari hasil ngasong kemarin jatuh berserakan. Sambil mengaduh menahan sakit, ia berusaha memunguti dan mengumpulkan kembali uang recehnya. Namun Picek segera merebutnya dengan paksa uang itu. Kucel tak kuasa untuk mencegahnya. Ia hanya memandang dengan mengiba dan tak berdaya.
Kucel tahu betul kalau Picek adalah bos preman. Ia mempunyai anak buah preman yang berjumlah belasan. Selain itu, ia juga mengkoordinir puluhan anak jalanan yang biasa meminta-minta di perempatan lampu merah. Para pedagang kasongan pun tak lepas dari uang kutipannya. Rumahnya tergolong bagus di daerah Sunter. Ia sering terlihat mengendarai motor Harley kemana-mana.
Si bos preman itu berperangai buruk dan suka mabok-mabokan. Jika sedang marah matanya memerah seperti serigala yang hendak memangsa. Ia juga kerap menganiaya para anak buahnya yang suka membangkang. Tak jarang pula Kucel kena bogem mentah atau tendangan kakinya. Tapi yang membuatnya ngeri, konon Picek suka meny*domi anak-anak jalanan yang jadi anak buahnya.
Kucel mempunyai seorang sahabat yang selalu menemaninya berjualan hingga malam hari. Garing, sahabatnya itu selalu menemani Kucel berjualan hingga malam hari. Ia tahu kalau Kucel mempunyai kemampuan untuk mengubah hidupnya, dan Garing pun selalu memotivasi Kucel setiap ia menemuinya. Ia selalu membawa selembar kertas kosong untuk Kucel menulis. Garing tahu belaka kalau Kucel mempunyai bakat menulis. Ia sering terpesona membaca kata-kata puitis yang ditulis Kucel. Dan ia suka menyimpannya.
Beberapa menit kemudian si Picek pun kebetulan lewat di depan mereka. Ternyata ia tidak sengaja melihat si Kucel sedang memegang selembar kertas yang membuatnya penasaran. Ia meminta kertas itu dan membacanya.
“Ternyata kamu bisa nulis ya Cel. Tapi lu jangan ngimpi mau jadi penulis terkenal. Biar gue robek aja nih kertas. Ingat tugas lu cuma jualan terus setor ama gue! Karena gue yang udah ngasih lu kerjaan,” kata Picek memperingatkan Kucel dan Garing. Kucel hanya diam dengan muka yang ditekuk.
Namun Garing merasa tidak terima. Ia tidak rela temannya dihina dan memprotes Picek. Tapi si Picek naik pitam, memukul kepala Garing dengan kerasnya. Si Garing pun kembali melawan dengan melempar keranjang asongnya. Saat keadaan semakin panik, Kucel berusaha untuk memisahkan mereka berdua dan meminta Garing agar tidak melawannya, karena akan sangat berbahaya. Meski masih menyimpan amarah, akhirnya Garing mengalah. Setelah itu Picek pun pergi entah kemana.
“Picek sudah keterlaluan, padahal selama ini kita selalu mengikuti kemauannya. Bagaimana kalau kita pergi saja?” tanya Garing mengajukan solusi.
“Maksudmu Ring?”
“Kita kabur saja dari sini, kita cari tempat lain yang lebih baik, lebih nyaman untuk hidup kita. Kalau di sini terus kita hanya akan jadi budaknya Picek.”
Sejurus setelah berpikir, Kucel pun menerima tawaran tersebut. Akhirnya mereka berdua pergi meninggalkan keranjang dagang asongannya, sambil membawa tas ransel berisi beberapa potong pakaian mereka.
Baru beberapa langkah, Kucel berhenti. Ia berbalik menuju ke keranjang dagangnya. Ternyata ia mengambil sebuah buku yang terlihat Garing berisi tulisan-tulisan puitis. Ada nama penulisnya “Juni Priatmadja”, dan foto penulis.
“Apa itu nama aslimu? dan ini fotomu kan?” tanya si Garing setengah penasaran.
“Iya, ini nama pemberian dari almarhum ayahku, fotoku keren kayak artis kan?”
“Iya kayak artis Afrika he he he…”
Begitulah banyolan kedua sahabat sambil ngeloyor pergi.
Belum sampai di mulut gang menuju jalan besar, mereka berpapasan dengan salah satu preman anak buah Picek.
“Hey mau kemana kalian, mau minggat ya?” hardik si preman dengan kasar.
“Kami mau ke rumah teman.”
“Bohong, itu kalian bawa tas dan barang-barang, kalian mau kabur kan? Nanti saya laporkan sama bos,” ia mengancam.
Preman itu berusaha menarik tas ransel di punggung Garing. Namun Garing menghindar. Si preman naik pitam dan mengayunkan bogem mentah ke wajah Garing. Kucel yang tidak terima sahabatnya dianiaya, segera membantu melawan si preman. Terjadilah baku hantam hingga membuat sang preman terdesak hingga jatuh pingsan.
Tak berapa lama, teman-teman preman yang tengah lewat di gang itu melihat kejadian tersebut. Karuan saja mereka berhambur hendak menghajar Garing dan Kucel. Dengan panik mereka berdua pun berlari sekencang-kencangnya.
Mereka lari ke berbagai gang-gang kecil kota. Para preman pun mengejar keduanya yang hendak kabur. Hingga di ujung persilangan jalan raya, mereka hampir tertabrak oleh sebuah mobil mewah. Karena terkejut Kucel pun terjatuh, bungkusan berisi kertas serta buku yang dibawanya tercecer berserakan di jalan. Meski dengan panik, Garing berusaha membantunya. Kemudian mereka berlari kembali.
Namun tiba-tiba Garing berhenti. Kucel pun turut menghentikan langkahnya, tetapi Garing melarang dan menyuruhnya untuk terus berlari.
“Cel kamu terus lari!”
“Tidak, kita lari bareng!”
“Sudah cepat sana lari…!!”
Sambil mendorong, Garing menyuruhnya segera lari. Maka Kucel pun terpaksa meninggalkan Garing, berlari menyelamatkan diri. Ia tahu Garing pasti tertangkap dan dihajar oleh preman-preman itu. Air matanya menetes membasahi jalanan.
Salah seorang dari mobil mewah yang tadi nyaris menabraknya turun. Ia bermaksud mengecek mobilnya apakah lecet atau tidak, tetapi ia menemukan sebuah buku yang jatuh. Terbaca di sampulnya judul tulisan “Perisai Kehidupan”. Di bawahnya ada sebuah foto dan alamat lengkap. Orang itu lalu menyelipkan kertas lusuh itu dalam saku bajunya, lantas pergi. Di dalam mobil, ia membuka isi buku dan membacanya. “Tulisan yang menarik,” gumamnya.
Satu tahun berlalu. Seseorang dengan mobil mewah menyusuri lorong-lorong perkampungan yang kumuh. Di sana-sini banyak tumpukan sampah dan bau tak sedap. Setelah bertanya beberapa kali, ia sampai di depan sebuah rumah kecil yang dindingnya terbuat dari seng bekas dan kertas kardus. Setelah beruluk salam, ia bertanya kepada penghuninya, “Apakah anda yang bernama Juni Priatmadja?”
“Ya, benar, ada apa Pak?”
“Ini buku novel karya anda. Maaf, tanpa izin anda terlebih dulu, saya terbitkan,” ia lalu menceritakan peristiwa satu tahun lalu. Saat dirinya hampir menabrak sang penulis novel.
Ya, Juni pun menceritakan semua tentang kehidupannya kepada orang tersebut. Menurutnya kehidupan memang penuh dengan misteri. Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi di depan. Kita hanya bisa bertahan seperti perisai. Jadi, setebal apakah perisai kita menahan kerasnya serangan dari kehidupan.
Benar kata pepatah, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Orang tadi kemudian mengangkat Kucel menjadi penulis di perusahaannya. Ia memberi Kucel fasilitas kehidupan yang cukup lengkap. Kini Kucel menjadi novelis kesohor, yang karya novelnya banyak dibaca orang.
Cerpen Karangan: Iqbal Hidayat
- See more at:https://www.google.com/search?q=cerpen+islami&biw=1143&bih=564&noj=1&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=EfmRVcKnOcyIuATktIbYBw&ved=0CAkQ_AUoAg&dpr=0.9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar