Perisai penuh dengan ketebalan demi menahan sebuah
serangan pedang. Perisai dirancang khusus untuk menahan sebuah serangan sekeras
apapun. Bentuknya pun beragam, mulai yang panjang, pendek, hingga yang berduri
untuk menciptakan sebuah counter dari sang pemegangnya. Sebagaimana halnya yang
sering terjadi di dalam kehidupan yang begitu kejam seperti pedang.
Sepenggal cerita ini mengungkapkan bagaimana kehidupan
anak muda yang berjalan dengan berbagai rintangan. Kekejaman di jalanan
merupakan tindakan kriminal yang sering terjadi. Seperti halnya di negeri kita,
preman-preman itu tak henti-hentinya meminta upeti yang seolah sudah menjadi
haknya. Menurutnya tempat ini sudah menjadi wilayah mereka bertahun-tahun.
Demikianlah kisah seorang anak muda berusia 21 tahun
bernama Juni Priatmadja, namun ia biasa dipanggil Kucel. Ia biasa berdagang
mengasong di jalanan, di mobil, bahkan di pasar-pasar. Meski ia telah yatim
piatu dan menjalani hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain, tetapi ia tak
pernah gentar akan kenyataan kejamnya kehidupan. Barangkali yang membuatnya
tetap bertahan adalah cita-cita yang tidak pernah luntur dari hati kecilnya.
Ia biasa makan hanya berlauk tempe atau tahu. Malam
hari yang hanya beralas kardus, ia tidur dengan nyenyaknya, jika tak ada
petugas, ia pun sungguh sangat menikmati malam yang penuh bertabur mimpi, tapi
di kehidupan jalanan ini sangatlah berbeda dengan kehidupan sang pangeran
kerajaan yang selalu menikmati kenyamanan di setiap detiknya. Setiap malam ia
pun setidaknya harus mencari tempat sepi hanya untuk melelapkan mata merahnya,
kadang hampir satu hari pun ia tak pernah menikmati indahnya mimpi, keringat
serta udara kotor selalu menemani kesehariannya.
Terkadang ia mencurahkan kepahitan hidupnya dengan
selembar kertas dan sebatang pinsil yang ia pungut dari tong sampah. Atau
kadang dalam bait-bait puisi keperihan hatinya ia torehkan. Biarlah meski
orang-orang yang berada di sekelilingnya kerap mencibir kalau ia hanya bisa
bermimpi menjadi orang besar.
Suatu pagi, seorang preman yang biasa dijuluki Picek,
datang menghampiri Kucel. Preman yang berwajah garang itu memang biasa meminta
uang hasil kerja keras Kucel dan teman-teman senasibnya. Ia menendang dengan
kerasnya perut Kucel yang masih tertidur pulas. Tak ayal, Kucel pun terlempar
hingga terjatuh dari tempat tidurnya yang beralas kardus itu.
Segenggam uang receh yang Kucel kumpulkan dari hasil
ngasong kemarin jatuh berserakan. Sambil mengaduh menahan sakit, ia berusaha
memunguti dan mengumpulkan kembali uang recehnya. Namun Picek segera merebutnya
dengan paksa uang itu. Kucel tak kuasa untuk mencegahnya. Ia hanya memandang
dengan mengiba dan tak berdaya.
Kucel tahu betul kalau Picek adalah bos preman. Ia
mempunyai anak buah preman yang berjumlah belasan. Selain itu, ia juga
mengkoordinir puluhan anak jalanan yang biasa meminta-minta di perempatan lampu
merah. Para pedagang kasongan pun tak lepas dari uang kutipannya. Rumahnya
tergolong bagus di daerah Sunter. Ia sering terlihat mengendarai motor Harley
kemana-mana.
Si bos preman itu berperangai buruk dan suka
mabok-mabokan. Jika sedang marah matanya memerah seperti serigala yang hendak
memangsa. Ia juga kerap menganiaya para anak buahnya yang suka membangkang. Tak
jarang pula Kucel kena bogem mentah atau tendangan kakinya. Tapi yang
membuatnya ngeri, konon Picek suka meny*domi anak-anak jalanan yang jadi anak
buahnya.
Kucel mempunyai seorang sahabat yang selalu
menemaninya berjualan hingga malam hari. Garing, sahabatnya itu selalu menemani
Kucel berjualan hingga malam hari. Ia tahu kalau Kucel mempunyai kemampuan
untuk mengubah hidupnya, dan Garing pun selalu memotivasi Kucel setiap ia
menemuinya. Ia selalu membawa selembar kertas kosong untuk Kucel menulis.
Garing tahu belaka kalau Kucel mempunyai bakat menulis. Ia sering terpesona
membaca kata-kata puitis yang ditulis Kucel. Dan ia suka menyimpannya.
Beberapa menit kemudian si Picek pun kebetulan lewat
di depan mereka. Ternyata ia tidak sengaja melihat si Kucel sedang memegang
selembar kertas yang membuatnya penasaran. Ia meminta kertas itu dan
membacanya.
“Ternyata kamu bisa nulis ya Cel. Tapi lu jangan
ngimpi mau jadi penulis terkenal. Biar gue robek aja nih kertas. Ingat tugas lu
cuma jualan terus setor ama gue! Karena gue yang udah ngasih lu kerjaan,” kata
Picek memperingatkan Kucel dan Garing. Kucel hanya diam dengan muka yang
ditekuk.
Namun Garing merasa tidak terima. Ia tidak rela
temannya dihina dan memprotes Picek. Tapi si Picek naik pitam, memukul kepala
Garing dengan kerasnya. Si Garing pun kembali melawan dengan melempar keranjang
asongnya. Saat keadaan semakin panik, Kucel berusaha untuk memisahkan mereka
berdua dan meminta Garing agar tidak melawannya, karena akan sangat berbahaya.
Meski masih menyimpan amarah, akhirnya Garing mengalah. Setelah itu Picek pun
pergi entah kemana.
“Picek sudah keterlaluan, padahal selama ini kita
selalu mengikuti kemauannya. Bagaimana kalau kita pergi saja?” tanya Garing
mengajukan solusi.
“Maksudmu Ring?”
“Kita kabur saja dari sini, kita cari tempat lain yang
lebih baik, lebih nyaman untuk hidup kita. Kalau di sini terus kita hanya akan
jadi budaknya Picek.”
Sejurus setelah berpikir, Kucel pun menerima tawaran
tersebut. Akhirnya mereka berdua pergi meninggalkan keranjang dagang
asongannya, sambil membawa tas ransel berisi beberapa potong pakaian mereka.
Baru beberapa langkah, Kucel berhenti. Ia berbalik
menuju ke keranjang dagangnya. Ternyata ia mengambil sebuah buku yang terlihat
Garing berisi tulisan-tulisan puitis. Ada nama penulisnya “Juni Priatmadja”,
dan foto penulis.
“Apa itu nama aslimu? dan ini fotomu kan?” tanya si
Garing setengah penasaran.
“Iya, ini nama pemberian dari almarhum ayahku, fotoku keren kayak artis kan?”
“Iya kayak artis Afrika he he he…”
“Iya, ini nama pemberian dari almarhum ayahku, fotoku keren kayak artis kan?”
“Iya kayak artis Afrika he he he…”
Begitulah banyolan kedua sahabat sambil ngeloyor
pergi.
Belum sampai di mulut gang menuju jalan besar, mereka
berpapasan dengan salah satu preman anak buah Picek.
“Hey mau kemana kalian, mau minggat ya?” hardik si
preman dengan kasar.
“Kami mau ke rumah teman.”
“Bohong, itu kalian bawa tas dan barang-barang, kalian
mau kabur kan? Nanti saya laporkan sama bos,” ia mengancam.
Preman itu berusaha menarik tas ransel di punggung
Garing. Namun Garing menghindar. Si preman naik pitam dan mengayunkan bogem
mentah ke wajah Garing. Kucel yang tidak terima sahabatnya dianiaya, segera
membantu melawan si preman. Terjadilah baku hantam hingga membuat sang preman
terdesak hingga jatuh pingsan.
Tak berapa lama, teman-teman preman yang tengah lewat
di gang itu melihat kejadian tersebut. Karuan saja mereka berhambur hendak
menghajar Garing dan Kucel. Dengan panik mereka berdua pun berlari
sekencang-kencangnya.
Mereka lari ke berbagai gang-gang kecil kota. Para
preman pun mengejar keduanya yang hendak kabur. Hingga di ujung persilangan
jalan raya, mereka hampir tertabrak oleh sebuah mobil mewah. Karena terkejut
Kucel pun terjatuh, bungkusan berisi kertas serta buku yang dibawanya tercecer
berserakan di jalan. Meski dengan panik, Garing berusaha membantunya. Kemudian
mereka berlari kembali.
Namun tiba-tiba Garing berhenti. Kucel pun turut
menghentikan langkahnya, tetapi Garing melarang dan menyuruhnya untuk terus
berlari.
“Cel kamu terus lari!”
“Tidak, kita lari bareng!”
“Sudah cepat sana lari…!!”
Sambil mendorong, Garing menyuruhnya segera lari. Maka
Kucel pun terpaksa meninggalkan Garing, berlari menyelamatkan diri. Ia tahu
Garing pasti tertangkap dan dihajar oleh preman-preman itu. Air matanya menetes
membasahi jalanan.
Salah seorang dari mobil mewah yang tadi nyaris
menabraknya turun. Ia bermaksud mengecek mobilnya apakah lecet atau tidak,
tetapi ia menemukan sebuah buku yang jatuh. Terbaca di sampulnya judul tulisan
“Perisai Kehidupan”. Di bawahnya ada sebuah foto dan alamat lengkap. Orang itu
lalu menyelipkan kertas lusuh itu dalam saku bajunya, lantas pergi. Di dalam
mobil, ia membuka isi buku dan membacanya. “Tulisan yang menarik,” gumamnya.
Satu tahun berlalu. Seseorang dengan mobil mewah
menyusuri lorong-lorong perkampungan yang kumuh. Di sana-sini banyak tumpukan
sampah dan bau tak sedap. Setelah bertanya beberapa kali, ia sampai di depan
sebuah rumah kecil yang dindingnya terbuat dari seng bekas dan kertas kardus.
Setelah beruluk salam, ia bertanya kepada penghuninya, “Apakah anda yang bernama
Juni Priatmadja?”
“Ya, benar, ada apa Pak?”
“Ini buku novel karya anda. Maaf, tanpa izin anda
terlebih dulu, saya terbitkan,” ia lalu menceritakan peristiwa satu tahun lalu.
Saat dirinya hampir menabrak sang penulis novel.
Ya, Juni pun menceritakan semua tentang kehidupannya
kepada orang tersebut. Menurutnya kehidupan memang penuh dengan misteri. Kita
tidak tahu apa yang akan kita hadapi di depan. Kita hanya bisa bertahan seperti
perisai. Jadi, setebal apakah perisai kita menahan kerasnya serangan dari kehidupan.
Benar kata pepatah, bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian. Orang tadi kemudian mengangkat Kucel menjadi penulis
di perusahaannya. Ia memberi Kucel fasilitas kehidupan yang cukup lengkap. Kini
Kucel menjadi novelis kesohor, yang karya novelnya banyak dibaca orang.
Cerpen Karangan: Iqbal Hidayat
- See more
at:https://www.google.com/search?q=cerpen+islami&biw=1143&bih=564&noj=1&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=EfmRVcKnOcyIuATktIbYBw&ved=0CAkQ_AUoAg&dpr=0.9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar